Saya baru merasakan kebenaran apa yang pernah diucapkan Luhut Binsar Pandjaitan tahun 2022 lalu, “Kita ngapain bangsa ini kita pamer-pamer OTT-OTT melulu, bangga lihat itu? OTT Rp 50 juta, Rp100 juta. Kau ndak pernah cerita berapa mereka menghemat triliunan-triliunan,” kata Luhut dikutip dari CNN Indonesia.
Ini menjelaskan bahwa pertama, kerja bagus tetapi tetap harus mempertimbangkan efektif efisien anggaran. Kedua, utamakan pencegahan dari pada terjadi korupsi.
Jika dihubungkan dengan peristiwa OTT di Kalimantan Selatan, yang dianggap melibatkan Gubernur Kalimantan Selatan Sahbirin Noor, Selasa (8/10/2024). Saya benar-benar merasa bahwa OTT tidak lebih penting dari pencegahan.
Justru akibat dari OTT, membuat sekelompok orang bersorak-sorak menggunjing status tersangka Gubernur Kalsel, yang terkenal dengan tagline ‘bergerak’ dan ‘jangan jadi pangoler.’
Melihat perilaku sorak-sorak kelompok masyarakat ini menandakan jiwa yang sakit, karena senang melihat orang sengsara atau jatuh.
Sangat jelas di media sosial Facebook, Instagram, tiktok, dan X, begitu masif menyebarkan bahkan memposting ulang status tersangka Paman Birin dan mencatut nama Haji Isam secara berlebihan.
Belum lagi, saat ini sisa 45 hari pencoblosan Pilkada 27 November 2024, membuat aksi OTT seolah-olah langkah politik untuk memutus pergerakan Paman Birin mendukung istrinya Acil Odah dalam memenangkan pada Pilgub Kalsel 27 November 2024. Sehingga lengkaplah bahwa ada apa-apanya terhadap peristiwa OTT di Kalsel dan penetapan status tersangka Sahbirin Noor.
Sebagian masyarakat yang simpati dengan Paman Birin mungkin hanya mengucapkan istigfar, tapi beda dengan mereka yang membenci Paman Birin, seolah hasrat mereka terpuaskan.
Saya hanya ingin menyampaikan kebenaran yang disampaikan oleh Luhut Binsar Panjaitan, “Apa yang dibanggakan dari peristiwa OTT.” Saya juga menilai betapa OTT itu benar-benar tidak estetik dalam demokrasi Indonesia.
Mengapa tidak lebih mengedepankan pencegahan, mengapa sistem pengadaan tidak sanggup mencegah korupsi, mengapa uang pencairan proyek tidak digunakan untuk pelaksanaan tender tapi malah dipakai untuk membayar fee, mengapa harus melibatkan pejabat Kepala dinas atau kepala bidang, padahal pengadaan juga sudah diawasi oleh KPK.
Lantas masih saja terjadi korupsi, pasti ada yang salah dengan sistem yang selama ini digunakan. Saya berasumsi bahwa korupsi terjadi bukan karena ada pelaku tetapi karena sistem memberikan peluang untuk korupsi.
Atau bisa jadi karena faktor eksternal yang memberikan tekan untuk melakukan korupsi. Saya juga berasumsi bahwa keadilan dan keberpihakan kepada pengusaha lokal juga belum tergambarkan dalam tender-tender sehingga selalu ada kompetisi tidak sehat untuk mendapatkan proyek, di sisi lain juga ada perusahaan sekarat karena tidak pernah dapat proyek sekalipun kontraktornya jujur.
Sehingga sistem pengadaan barang dan jasa di Indonesia harus menemukan formula baru yang mengedepankan keadilan dan memberikan peluang yang sama bagi pelaku usaha utamanya pengusaha lokal.
Jika alasannya tidak terampil dan tidak mampu, lantas kemana saja upaya pemerintah untuk meningkatkan kualitas dan kapasitas mereka.
Kembali ke soal OTT di Kalsel. Tindakan OTT punya daya hancur lebih kuat terhadap tersangka. Nama dan karir tersangka pasti suram, dan susah untuk pulih, apalagi bangkit.
Alangkah estetiknya bila anti korupsi lebih mengutamakan pencegahan, daripada menjatuhkan jabatan dan karir seseorang. Atau jangan-jangan sistem juga sudah terjangkit penyakit suka menjatuhkan jabatan dan karir seseorang.
Penulis: M. Akram Sadli, Anggota Kadin Kalsel