M Syarbani Haira: Ketua PWNU Kalsel 2007-2012, 2012-2017 dan Pendiri UNU Kalsel
Sejumlah rekan dan kenalan meng-inbox saya setelah menulis opini berjudul UNU Kalsel dan Panggung Sandiwara (15 April 2025). Mereka menanyakan mengapa saya mengkritik NU sendiri, dan mengkritik Universitas Nahdlatul Ulama Kalimantan Selatan (UNUKASE) padahal saya pernah memimpin PWNU Kalsel dua periode, dan penggerak motor pendirian UNU Kalsel. Mereka umumnya prihatin, berita buruk tentang konflik NU dan UNU Kalsel menyebar luas di media.
Saya menjawab pendek saja dengan mengutip potongan ayat suci al-Qur’an al-Karim “watawa saubil haq watawa saubil sabri” (وتوا صوا با لحق وتوا صوا با لصبر ). Para mufasir menyebut, ayat ini mengajarkan pada orang beriman, dan beramal saleh, untuk saling mengingatkan (tazkir), menasehati satu sama lain. Sembari tetap berpegang teguh akan kebenaran (al-haq), sabar dalam menghadapi semua rintangan. Dengan saling menasehati dan mengingatkan itu, di jalan kebenaran dengan spirit kesabaran, Insya Allah akan mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Itu artinya, dalam perspektif Islam, tazkir atau mengingatkan adalah kewajiban. Harus selalu disampaikan, terus digelorakan. Tentu dengan semangat nilai kebajikan, ya’muruna bil ma’ruf ( يأ مرون با لمعروف ). Dengan tazkir itu, maka kebenaran akan selalu terjaga, terpelihara, sekaligus terlestarikan.
Ambruknya Islam di berbagai kawasan semenanjung Andalusia Spanyol, Iberia, Emirat Granada, Italia, dan Balkan, adalah contoh nyata. Suara kebenaran (Islam) telah hilang. Oleh siapa?, oleh pemeluknya sendiri.
Mereka juga telah kehilangan semangat ukhuwah, solidaritas, kebersamaan. Mereka berebut kekuasaan, saling meng-anulir dan saling menjatuhkan, saling fitnah, adu domba, serta berbagai perilaku buruk lainnya. Termasuk menebar berita hoax, bohong.
Untuk keselamatan diri, dan jabatannya, mereka memilih diam jika melihat ada kemunkaran. Tak hanya itu, tak sedikit dari mereka itu ada yang terang-terangan, terbuka membela kemunkaran, selain ada juga yang sembunyi-sembunyi (mereka biasanya berpura-pura baik). Mereka sesungguhnya telah berkolusi, dan berkoalisi, melawan suara atau pesan kebenaran.
Sejarah mencatat jika mereka itu tidak memiliki semangat musyawarah. Musyawarah dalam arti yang sebenarnya (menurut Islam), di mana proses perundingan atau diskusi untuk mencapai kesepakatan atau keputusan bersama, terhadap sebuah masalah yang sedang dihadapi. Bagi Islam, musyawarah ini adalah cara terbaik dalam menyelesaikan masalah, mencapai keadilan.
Tetapi yang terjadi kala itu, selain spirit musyawarah tak pernah dilakukan, jika ada juga hanya formalitas belaka, berupa adanya diskusi dan pertemuan resmi. Tetapi apa pun usul, saran, dan kesimpulan, sama sekali tak dijalankan. Mereka hanya menerapkan apa yang ada di kepala mereka saja, dengan alasan yang di buat-buat. Tidak rasional. Itu semua semata buat kepentingan kekuasaan mereka dan kelompoknya.
Itu sebabnya, ketika spirit kebersamaan sudah tak ada lagi, karena yang satu buru-buru ingin menduduki jabatan, orang lain malah disingkirkan. Pada saat kaum non-muslim melakukan serangan balik, elite Islam kelabakan. Hanya dalam waktu yang singkat, wilayah yang tadinya sudah dikuasai, lepas semua. Akhirnya nama-nama seperti Cordova, Granada, Sevilla, Toledo, dan lainnya, hanya menjadi kenangan. Bahwa di kawasan itu Islam pernah berjaya, dengan kemajuan peradaban dan kebudayaan yang luar biasa. Padahal itu cuma masa lalu, tinggal kenangan saja.
Memelihara Nilai Juang NU
Apakah nasib dan ideologi NU akan hancur di masa depan? Bisa ya, bisa tidak. Ini sangat tergantung pada mereka yang kini sedang menduduki posisi penting, baik dalam hal menentukan arah kebijakan, atau langkah nyata yang akan mereka tempuh. Selain wawasan pengetahuan mereka mengenai nilai perjuangan ideologi NU, dengan segala pernik pemikirannya yang sudah tergolong minim.
Pada skope local Kalimantan Selatan misalnya, karena tak ada yang berani bersuara, maka sebagian asset NU sudah hilang, berpindah tangan (tanah dan bangunan). Keadaan terakhir sangat mengkhawatirkan, karena ada pengurus yang mengatasnamakan sertifikat tanah dan bangunan secara pribadi, bukan atas nama NU. Ada lagi hibah masyarakat, tanah dan bangunan, seperti hilang ditelan bumi, padahal pengelola sudah mengeluarkan biaya yang tak sedikit untuk urusan hibah itu. Pengurus diam saja, bahkan ada seorang mantan elite NU yang menyalahkan orang lain. Padahal dia sendiri tak pernah turun langsung mengumpulkan data asset, dan mau memahami duduk masalahnya. Belum lagi ada seseorang yang dititip seorang saudagar hebat menjadi elite NU, dengan janji siap membiayai berbagai keperluan. Nyatanya, “zero” sama sekali. Nonsens … !!!
Ada pula seorang Ketua terpilih (mandataris) menganggap dirinya seperti bos perusahaan. Orang lain yang disuruhnya menghadap di mana dia berada. Padahal sesungguhnya dalam kultur NU, menjadi sebuah kewajiban seorang ketua itu tiap hari mampir di kantor, buat menyemangati pengurus lainnya. Kantornya pun harus disiapkan, entah bagaimana caranya, bukan seperti Ketua RT tanpa kantor, dan tanda tangan bisa di mana saja.
Pimpinan itu juga harus tegas terhadap pengurus yang membawa asset organisasi ke rumah pribadi, didiamkan dan dipakai buat pribadi, seperti mobil misalnya. Pimpinan harus bisa membangun system, jangan sampai ada fungsionaris yang justru menafsirkan NU sebagai Nunut Urip (numpang hidup). Mencari nafkah melalui Lembaga NU.
Hal yang tak kalah penting pelanjut operasional elite Universitas NU Kalsel, yang ternyata tak ada yang murni generasi NU sejak usia dini. Mereka, seperti Ketua BPP, Rektor dan wakil-wakilnya, Ketua Senat yang menjadi aktor penyusun skenario pimpinan, semuanya adalah warga NU imigran. Keadaan ini jauh berbeda 180 derajat ketimbang hajat awal kampus itu didirikan. Dalam document pendirian tertulis jika kampus itu buat untuk membukakan jalan bagi para aktivis IPNU/IPPNU dan PMII menyalurkan minat, bakat, aktivitas, kompetensi dan karyanya untuk agama, bangsa dan negara.
Besar harapan agar elite NU banua masih mampu membedakan mana yang baik untuk jam’iyyah – jamaah NU, dan mana yang tak baik. Apa yang seharusnya dilakukan, dan apa pula yang harus ditinggalkan. Apakah pesan kebenaran dalam tradisi NU itu masih bisa dioptimalkan, digelorakan? Atau sudah tak diperlukan lagi, karena sudah tak relevan.
Indikasi lainnya, merosotnya sence of belonging terhadap NU itu bisa dilihat dari semakin minimnya elite kyai pesantren yang mau terjun langsung ke event NU, termasuk kepengurusan. Hanya mereka yang dominan hajat untuk menduduki posisi, atau jabatan di instansi pemerintah, dan politik. Selebihnya, jika toh ada juga nama tercantum sebagai pengurus, ya sekadar nampang saja.
Inilah yang harus diluruskan sekarang, oleh semua pihak yang masih merasa care terhadap NU. Jadi pengurus itu memang capek, bahkan kadang keluar kocek sendiri. Tetapi itulah resiko jadi pengurus, bisa capek dan bisa enak, dan bisa pula memerintah. Harus diingatkan jika ber-NU itu sama dengan ber-dakwah, selalu menyebarkan pesan Kebajikan. Membina atau mengayomi warga NU yang masih susah, belum terdidik, bahkan masih ada yang belum berbudaya. Di situlah tugas pimpinan, menyuarakan Kebajikan. Jika tidak, tunggulah ambruknya jam’iyyah dan jamaah NU. Maka itu, tak ada alternatif lain, kecuali suara kebenaran harus selalu dikumandangkan dan diperjuangkan. Wallahu’alam bis-sawab … !!!