KALTENG, Goodnews.co.id – Penahanan Bupati Kabupaten Kapuas, Ben Brahim S Bahat, dan anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dari fraksi Nasdem, Ary Egahni, oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menambah panjang daftar Pasangan Suami Istri (Pasutri) yang terlibat korupsi.
Menurut Wakil Ketua KPK, Johanis Tanak, keduanya menjadi tersangka dalam kasus dugaan korupsi anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Kabupaten Kapuas, Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng).
Ben Brahim dan Ary Egahni ditahan di rumah tahanan KPK setelah diperiksa penyidik.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Untuk kebutuhan penyidikan, Tim Penyidik menahan para tersangka masing-masing selama 20 hari pertama,” ujar Johanis Tanak saat konferensi pers di Gedung KPK, Selasa (28/3/2023).
Dalam beberapa kasus lainnya memang terdapat pasutri yang terlibat melakukan korupsi.
Pertama, Bendahara Umum Partai Demokrat, Muhammad Nazaruddin, dan istrinya, Neneng Sri Wahyuni, terbukti terlibat dalam kasus suap proyek Wisma Atlet pada tahun 2012.
Sedangkan Neneng terlibat dalam kasus korupsi pengadaan pembangkit listrik tenaga surya di Kementerian Ketenagakerjaan dan Transmigrasi.
Nazaruddin dan Neneng sempat kabur ke luar negeri dari menjadi buronan Interpol.
Nazaruddin berhasil ditangkap di Cartagena, Kolombia. Sedangkan Neneng dibekuk KPK di kediamannya di Pejaten, saat pulang dari pelarian di luar negeri.
Nazaruddin kemudian turut dijerat dengan kasus pencucian uang. Nazaruddin dan Neneng masing-masing divonis 13 tahun penjara dan 6 tahun penjara.
Kedua, Mantan Bupati Karawang, Ade Swara, beserta istri, Nurlatifah, ditangkap tangan oleh penyidik KPK pada Januari 2015 karena memeras PT Tatar Kertabumi dalam pengurusan izin surat penggunaan lahan buat pendirian pusat perbelanjaan.
Mereka memeras anak perusahaan Agung Podomoro Land saat mengurus Surat Permohonan Penggunaan Lahan untuk pusat perbelanjaan di Karawang.
Mereka juga dijerat pencucian uang dari hasil korupsi dalam rentang Desember 2011 sampai Juli 2024.
Dalam perkara itu Ade dan Nurlatifah masing-masing divonis penjara selama 6 tahun dan 5 tahun.
Ketiga, Mantan Wali Kota Palembang, Romi Herton, dan istrinya, Masyitoh, terlibat dalam kasus suap terhadap Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Akil Mochtar, sebesar Rp14,145 miliar terkait pengurusan sengketa pemilihan kepala daerah Palembang pada Maret 2015.
Kasus itu terungkap setelah penyidik KPK melakukan tangkap tangan terhadap Akil.
Keduanya juga dijerat kasus memberikan keterangan palsu dalam persidangan. Alhasil hakim menjatuhkan vonis kepada Romi dan Masyitoh masing-masing selama 7 tahun penjara dan 5 tahun penjara.
Romi yang tengah menjalani masa hukuman di Lembaga Pemasyarakatan Gunung Sindur mengalami serangan jantung dan wafat di Rumah Sakit Hermina Serpong pada September 2017.
Keempat, Mantan Gubernur Sumatra Utara, Gatot Pujo Nugroho, dan istrinya, Evy Susanti, ditahan KPK pada Juli 2015 karena kasus suap terhadap 3 hakim dan panitera di Pengadilan Tata Usaha Negara Sumatera Utara dan mantan Sekretaris Jenderal Partai Nasdem Patrice Rio Capella.
Suap itu dilakukan supaya PTUN mengabulkan gugatan dari Pemprov Sumatera Utara terkait penyidikan kasus korupsi bantuan sosial yang oleh Kejaksaan Tinggi Sumut dan Kejaksaan Agung.
Gatot dan Evy memberikan uang suap senilai 15.000 dollar Amerika Serikat dan 5.000 dollar Singapura melalui pengacara O.C.
Gatot kembali dijerat kasus korupsi dana hibah dan dana Bantuan Sosial (Bansos).
Gatot divonis 12 tahun penjara dalam kasus itu. Sedangkan Evy divonis 2,5 tahun penjara dan sudah bebas.
Kelima, Mantan Bupati Empat Lawang, Budi Antoni Aljufri, dan istrinya, Suzanna, terlibat dalam kasus suap penanganan sengketa pilkada Empat Lawang di Mahkamah Konstitusi. Kasus itu terungkap pada Juli 2015.
Keduanya menyuap mantan Ketua MK, Akil Mochtar, dengan uang sebesar Rp10miliar dan 500.000 dollar Amerika Serikat.
Keduanya juga dijerat dengan kasus memberikan keterangan palsu. Dalam kasus itu majelis hakim menjatuhkan vonis 4 tahun penjara bagi Budi dan 2 tahun penjara untuk Suzanna.
Keenam, Mantan Bupati Musi Banyuasin, Pahri Azhari, dan istrinya, Lucianty, terlibat dalam kasus suap Persetujuan Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Bupati Muba Tahun Anggaran 2014 serta Pengesahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Muba Tahun Anggaran 2015.
Lucianty saat itu menjabat sebagai anggota DPRD Provinsi Sumatra Selatan.
Kasus itu terungkap setelah KPK melakukan pengembangan dari operasi tangkap tangan pada Juni 2015.
Dalam perkara itu, majelis hakim menjatuhkan vonis penjara selama 3 tahun bagi Pahri dan 1,5 tahun penjara untuk Lucianty.
Ketujug, Mantan Wali Kota Cimahi, Aty Suharti, dan suaminya, Itoc Tochija, terungkap pada Desember 2016.
Keduanya menerima suap sebesar Rp 500.000.000 dari jumlah fee keseluruhan sebesar Rp3,9 miliar dalam proyek pembangunan Pasar Atas Cimahi tahap II senilai Rp57 miliar.
Ridwan dan Lily mulanya divonis 8 tahun penjara di pengadilan tingkat pertama. Namun, pada tingkat banding di pengadilan tinggi hukumannya diperberat menjadi 9 tahun penjara.
Kesembilan, Mantan Bupati Bengkulu Selatan, Dirwan Mahmud, dan istrinya, Hendrati, terlibat kasus suap 5 proyek jembatan pada Mei 2018.
Mereka ditangkap karena menerima suap Rp98.000.000 dari nilai proyek sebesar Rp750.000.000.
Dirwan divonis 6 tahun penjara dalam kasus itu. Sedangkan Hendrati divonis 4,5 tahun penjara.
Sepuluh, Mantan Bupati Probolinggo, Tantriana Sari, dan suaminya, Hasan Aminuddin, ditangkap penyidik KPK dalam kasus suap jual beli jabatan Kepala Desa pada September 2021.
Dua Belas, Mantan Bupati Kutai Timur, Ismunandar, dan istrinya yang merupakan Mantan Ketua DPRD Kutai Timur, Encek UR Firgasih, terbukti menerima suap terkait proyek di wilayahnya.
Ismunandar dan Encek juga disebut menerima suap dari para pejabat pemerintahan kabupaten mencapai Rp22 miliar.
Dalam kasus itu, Majelis Hakim menjatuhkan vonis 7 tahun penjara bagi Ismunandar. Majelis hakim juga memberikan vonis 6 tahun penjara untuk Encek.
Tigabelas, Ben Brahim S Bahat dan Ary Egahni Menurut Johanis. Ary kerap turut campur dalam proses pemerintahan Kabupaten Kapuas.
Ia disebut sering memerintahkan Kepala SKPD Kabupaten Kapuas untuk memenuhi kebutuhan pribadinya.
Sumber uang yang mengalir ke kantong Ben Brahim dan Ary Egahni berasal dari berbagai pos anggaran resmi yang ada di SKPD Kabupaten Kapuas. (E)