JAKARTA – Berikut catatan persidangan PT PCN yang media goodnews.co.id kutip dari CNNIndonesia.com terbitan tanggal 10 November 2022.
Disebutkan kasus dugaan suap Rp 118 miliar terkait pelimpahan izin usaha pertambangan operasi produksi (IUP OP) batu bara eks Bupati Tanah Bumbu Mardani Maming menyeret keluarga.
Setidaknya nama istri, adik, dan paman Maming, muncul dalam surat dakwaan yang dibacakan tim jaksa KPK pada sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri (PN) Banjarmasin hari Kamis (10/11).
Tim jaksa KPK membongkar cara-cara yang dilakukan Maming dalam menerima suap dari Direktur PT Prolindo Cipta Nusantara (PCN) Henry Soetio (Alm).
Maming menjabat sebagai Bupati Tanah Bumbu periode 2010-2015 berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) Nomor: 131.63-688 Tahun 2010 tanggal 15 September 2010 dan periode 2016-2020 berdasarkan Kepmendagri Nomor: 131.63-548 tahun 2016 tanggal 12 Februari 2016. Namun, sekitar bulan Juli 2018, Maming mengundurkan diri dari jabatannya.
Sebelum menjabat bupati, Maming adalah pemilik CV Bina Usaha yang kemudian berubah nama menjadi PT Batulicin Enam Sembilan yang susunan pengurusnya yaitu Erwinda selaku istri Maming menjabat Komisaris dan Rois Sunandar yang merupakan adik kandung Maming menjabat Direktur.
PT Batulicin Enam Sembilan memiliki enam anak perusahaan yaitu PT Trans Surya Perkasa (TSP), PT Permata Abadi Raya (PAR), PT Batulicin Nusantara Maritim, PT Bina Karya Putra Batulicin, PT Reski Batulicin Transport dan PT Batulicin Enam Sembilan Security.
Sementara itu, Henry Soetio adalah pemilik PT Lestari Cipta Persada (LCP) yang memiliki anak perusahaan PT Astri Mining Resources (AMR), PT PCN dan PT Angsana Terminal Utama (ATU) yang bergerak di bidang pertambangan dan pelabuhan pengangkutan batu bara di Kabupaten Tanah Bumbu, Provinsi Kalimantan Selatan.
Pada 29 April 2010, Maming menerbitkan IUP OP PT Bangun Karya Pratama Lestari (BKPL) berdasarkan Keputusan Bupati Tanah Bumbu Nomor: 545/103/IUP-OP/D.PE/2010.
Masih dari CNNIndonesia.com, Henry berkeinginan untuk melakukan kegiatan usaha pertambangan dengan cara mengambil alih kawasan lahan tambang batu bara milik PT BKPL yang memiliki IUP OP yang berada di daerah Kecamatan Angsana, Kabupaten Tanah Bumbu, Provinsi Kalimantan Selatan.
Masih pada tahun 2010, bertempat di Hotel Bidakara, Jakarta, Henry melalui perantara Suroso Hadi Cahyo dan Idham Chalid melakukan pertemuan dengan Andi Suteja selaku pemilik PT BKPL.
Pada pertemuan itu disepakati Henry akan mengambil alih IUP OP PT BKPL dengan membayar sebesar Rp 40 miliar.
“Atas kesepakatan tersebut, Henry Soetio (Alm) telah melakukan pembayaran kepada Suroso Hadi Cahyo sebesar Rp 5 miliar dan kepada Andi Suteja sebesar Rp25 miliar sehingga total pembayaran yang telah dilakukan sejumlah Rp 30 miliar,” ujar Jaksa KPK Muh Asri Irwan.
Setelah kesepakatan tersebut, Henry menemui Maming dan menyampaikan keinginannya untuk investasi tambang di Kabupaten Tanah Bumbu dan meminta bantuan dalam mengurus pengalihan atau pelimpahan IUP OP PT BKPL kepada PT PCN.
Serta mengurus izin lokasi pembangunan pelabuhan yang nantinya bertujuan untuk memfasilitasi bongkar muat batu bara milik PT PCN ketika sudah berproduksi atau beroperasi.
Maming kemudian menyampaikan kepada Henry bahwa untuk proses pengurusan pengalihan atau pelimpahan IUP OP PT BKPL kepada PT PCN akan dibantu oleh Raden Dwijono Putrohadi Sutopo selaku Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Tanah Bumbu.
Sedangkan untuk pengurusan perizinan pembangunan pelabuhan milik PT PCN akan dilakukan oleh orang-orang dekat Maming.
“Pengurusan perizinan pembangunan pelabuhan PT ATU tersebut berada di wilayah kerja bupati dan pengurusannya dilakukan oleh orang dekat terdakwa yang bernama Iskandar yang merupakan Pegawai Legal dari PT Batulicin Enam Sembilan,” ungkap jaksa.
Masih pada April 2011, Raden Dwidjono bersama-sama dengan Kasi Bimbingan Pertambangan Bambang Herwandi, Kasi Penyiapan Wilayah dan Tata Lingkungan Buyung Rawando Dani, serta Kasi Pengawasan Pertambangan Mulyadi dan Staf Seksi Bimbingan Pertambangan Eko Handoyo berangkat ke Jakarta untuk melakukan registrasi ulang IUP dan Kuasa Pertambangan di Ditjen Minerba.
bersama-sama dengan Kasi Bimbingan Pertambangan Bambang Herwandi, Kasi Penyiapan Wilayah dan Tata Lingkungan Buyung Rawando Dani, serta Kasi Pengawasan Pertambangan Mulyadi dan Staf Seksi Bimbingan Pertambangan Eko Handoyo berangkat ke Jakarta untuk melakukan registrasi ulang IUP dan Kuasa Pertambangan di Ditjen Minerba.
Ketika sudah di Jakarta, Maming menelepon Raden Dwidjono agar bertemu di Hotel Kempinski. Maming saat itu sudah bersama dengan Henry. Dia memperkenalkan Henry dengan Raden Dwidjono agar dibantu pelimpahan IUP OP PT BKPL kepada PT PCN. Raden Dwidjono lantas menyampaikan hal tersebut kepada Bambang dan kawan-kawan.
“Bahwa masih pada bulan April 2011, terdakwa memanggil Raden Dwidjono Putrohadi Sutopo, kemudian terdakwa menyerahkan Surat Permohonan PT PCN Nomor: 001/ADM-SRT/IV/11 tanggal 19 April 2011 perihal Pengalihan IUP OP PT BKPL kepada PT PCN dan menyampaikan agar Raden Dwidjono Putrohadi Sutopo segera memproses surat permohonan dari Henry Soetio (Alm) tersebut,” ucap jaksa.
Selanjutnya bertempat di Kantor Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Tanah
Bumbu, Raden Dwidjono bersama Bambang dkk melakukan rapat membahas permohonan pengalihan IUP OP PT BKPL kepada PT
PCN.
Hasilnya, pengalihan IUP OP PT BKPL kepada PT PCN tidak boleh dilakukan karena melanggar ketentuan Pasal 93 ayat (1) UU 4/2009 tentang Minerba yang menyebutkan: “Pemegang IUP dan IUPK tidak boleh memindahkan IUP dan IUPK-nya kepada pihak lain.”
“Selanjutnya Raden Dwidjono Putrohadi Sutopo mengusulkan dalam rapat tersebut untuk mengonsultasikannya ke Bagian Hukum Ditjen Minerba di Jakarta,” kata jaksa.
Raden Dwidjono dkk pun berangkat ke Jakarta melakukan konsultasi ke bagian hukum Ditjen Minerba dan mengurus kembali register ulang IUP dan Kuasa Pertambangan yang terdata di Kabupaten Tanah Bumbu.
Pada saat itu, hanya Raden Dwidjono dan Buyung yang menemui Fadli Ibrahim selaku Kepala Bagian Hukum Ditjen Minerba. Fadli menyampaikan pendapat bahwa pengalihan IUP OP PT BKPL kepada PT PCN tidak boleh dilakukan karena melanggar ketentuan Pasal 93 ayat (1) UU 4/2009 tentang Minerba.
Raden Dwidjono pun melaporkan kepada Maming mengenai pertemuannya dengan Fadli tersebut.
Maming disebut jaksa kukuh meminta Raden Dwidjono agar tetap memproses pelimpahan IUP OP PT BKPL ke PT PCN dengan mengatakan:
“Sudahlah Pak Dwi diproses saja karena pemberian perizinan dari pemerintah kepada pihak swasta merupakan suatu kebijakan sehingga bila terjadi pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku itu ranahnya Tata Usaha Negara yang mana itu pak Dwi kalo terjadi kesalahan paling fatal paling hanya pencabutan terhadap perizinan yang kita terbitkan.”
“Selanjutnya Raden Dwidjono Putrohadi Sutopo menyanggupinya dengan mengatakan ‘nggeh Pak,’ sebut Jaksa.
Seminggu kemudian, Maming dengan dengan nada tinggi meminta Buyung menemui Raden Dwidjono untuk menanyakan perkembangan proses pengalihan IUP OP PT BPKL kepada PT PCN yang belum ditindaklanjuti dengan mengatakan: “Padahkan lawan pak Dwi, yang permohonan pengalihan IUP dari PT BKPL ke PT PCN Lakasi!” yang artinya “Sampaikan ke pak Dwi, yang permohonan pengalihan IUP dari PT BKPL ke PT PCN, cepatkan!”
Buyung lantas menemui Raden Dwidjono dan menyampaikan perintah Maming tersebut. Raden Dwidjono dkk lantas menggelar rapat kembali.
“Pada saat rapat itu diambil keputusan akan menindaklanjuti perintah terdakwa dengan memproses permohonan pengalihan atau pelimpahan IUP OP PT BKPL kepada PT PCN yang diajukan Henry Soetio (Alm) walaupun permohonan PT PCN tersebut tidak melampirkan syarat administrasi berupa Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL), Laporan Eksplorasi dan Studi Kelayakan (Feasibility Study),” terang jaksa.
Pada rapat itu, Raden Dwidjono meminta Bambang dan Eko Handoyo untuk membuat draf evaluasi dan rekomendasi Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Tanah Bumbu dan draf Surat Keputusan Pelimpahan IUP OP dari PT BKPL ke PT PCN.
Raden Dwidjono juga meminta Buyung untuk menerbitkan peta dan titik koordinat wilayah PT BKPL sebagai salah satu kelengkapan syarat administrasi.
Pada 12 Mei 2011, Raden Dwidjono menandatangani Surat Rekomendasi Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Nomor: 545/661.I/PU/TAMBEN perihal Rancangan Keputusan Bupati tentang Persetujuan Pelimpahan IUP OP PT BKPL kepada PT PCN.
Selang tiga hari setelahnya, Raden Dwidjono menandatangani Surat Rekomendasi Kepala Dinas Pertambangan Nomor: 545/662/PU/Tamben tentang Persetujuan Rancangan Keputusan Bupati dan memparaf Draf Surat Keputusan Bupati tentang Persetujuan Pelimpahan IUP OP PT BKPL kepada PT PCN.
Selanjutnya sekitar Juni 2011, Raden Dwidjono menyerahkan Draf Surat Keputusan Bupati tentang Persetujuan Pelimpahan IUP OP tersebut kepada Maming di rumahnya untuk ditandatangani.
“Selanjutnya, terdakwa menandatangani Surat Keputusan Bupati Tanah Bumbu tentang Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi Batu Bara PT Bangun Karya Pratama Lestari kepada PT Prolindo Cipta Nusantara yang hanya diparaf oleh Raden Dwidjono Putrohadi Sutopo dan belum diparaf oleh Sekda, Asisten II dan Kabag Hukum,” imbuh jaksa.
Kemudian Raden Dwidjono menyerahkan Surat Keputusan Bupati Tanah Bumbu tentang Persetujuan Pelimpahan IUP OP batu bara dimaksud yang telah ditandatangani oleh Maming kepada Bambang untuk diberi Nomor: 296 Tahun 2011 dan diberi tanggal mundur (backdate) tertanggal 16 Mei 2011 serta dicap stempel Bupati Tanah Bumbu.
Pada 28 Juli 2011 dilakukan perubahan Akta PT ATU dengan melakukan Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa yang mengubah susunan pengurus PT ATU yang semula Rois Sunandar menjabat Komisaris Utama dengan kepemilikan saham sebesar 80 persen diganti dengan Muhammad Aliansyah yang merupakan pegawai PT Batulicin Enam Sembilan.
Sedangkan komisaris masih tetap Muhammad Bahruddin dengan kepemilikan saham 20 persen serta Wawan Surya selaku Direktur PT ATU berdasarkan Berita Acara Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa Nomor 86.
Pada 2 April 2012 dilakukan kembali perubahan Akta PT ATU berdasarkan Akta Pernyataan Keputusan Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa yang mengubah susunan pengurus PT ATU dengan memasukkan PT PCN sebagai pemilik saham sebesar 70 persen dan Muhammad Bahruddin selaku Komisaris mendapatkan pengalihan 10 persen dari Muhammad Aliansyah sehingga memiliki saham menjadi sebesar 30 persen.
Serta mengangkat Henry sebagai Direktur PT ATU dan Muhammad Bahruddin tetap menjabat sebagai Komisaris berdasarkan Berita Acara Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa Nomor 1 yang ditandatangani Notaris Rasfiendra Ronadinihari.
Pada 17 Juli 2013, atas sepengetahuan Maming, dibentuk PT Trans Surya Perkasa (TSP) yang bergerak di bidang Jasa Pengelolaan Pelabuhan dengan susunan pengurus Muhammad Bahruddin menjabat Komisaris dan Muhammad Aliansyah menjabat Direktur berdasarkan Akta Pendirian Perseroan Terbatas PT TSP Nomor 108 yang ditandatangani Notaris Sri Hartini.
Pada 31 Juli 2013 dibentuk juga PT Permata Abadi Raya (PAR) yang bergerak di bidang Pembangunan, Perdagangan dan Perindustrian, Pengangkutan, Pertanian dan Jasa, dengan susunan pengurus Muhammad Bahruddin selaku Komisaris dengan kepemilikan saham 75 persen dan Wawan Surya selaku Direktur dengan kepemilikan saham 25 persen berdasarkan Akta Pendirian Perserotan Terbatas PT PAR Nomor: 158 yang ditandatangani Notaris Sri Hartini.
Selanjutnya pada tahun 2014 ketika IUP OP PT PCN sudah berproduksi dan beroperasi proses penambangannya, tanggal 28 Februari 2014, atas permintaan Maming, dilakukan kembali perubahan Akta PT ATU.
Kali ini dengan memasukkan PT TSP kepada PT ATU yang seolah-olah memiliki saham sebesar 30 persen, perubahan ini berdasarkan Salinan atau Grose Akta Pernyataan Keputusan di Luar Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa PT ATU Nomor 3 yang ditandatangani Notaris Deny Adam Hakim.
“Adapun alasan masuknya PT TSP dalam kepemilikan saham di PT ATU agar Henry Soetio (Alm) dapat memberikan fee kepada terdakwa melalui PT TSP dalam bentuk Dividen karena terdakwa selaku Bupati Tanah Bumbu telah membantu proses pengalihan IUP OP PT BKPL kepada PT PCN,” ucap jaksa.
Jaksa menduga Maming yang notabene merupakan kader PDIP sekaligus mantan Bendahara Umum PBNU ini menerima suap senilai total Rp118.754.731.752.
Maming didakwa melanggar Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 jo Pasal 18 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). (*)