Yusril Tolak Pendapat JK Terkait 4 Pulau Aceh

- Editor

Kamis, 19 Juni 2025

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

JAKARTA, Goodnews.co.id – Menteri Koordinator Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra, merespon penjelasan Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 RI, Jusuf Kalla (JK), pada pekan lalu yang menyinggung poin-poin Perjanjian Helsinki terkait sengketa empat pulau Aceh dan Sumatera Utara.

Yusril menilai, Perjanjian Helsinki tidak bisa dijadikan rujukan untuk menentukan kepemilikan empat pulau yang kini menjadi sengketa antara Aceh dan Sumatera Utara.

“Enggak, enggak masuk. Undang-undang 1956 juga enggak, kami sudah pelajari,” ujar Yusril di kawasan Depok, Minggu (15/6/2025).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Yusril menjelaskan, Undang-Undang Pembentukan Provinsi Aceh Tahun 1956 tidak menyebutkan status empat pulau itu.

Empat pulau tersebut adalah Pulau Lipan, Pulau Panjang, Pulau Mangkir Ketek, dan Pulau Mangkir Gadang.

“Undang-undang pembentukan Provinsi Aceh Tahun 1956 itu tidak menyebutkan status empat pulau itu ya, bahwa Provinsi Aceh terdiri atas ini, ini, ini ya, tapi mengenai tapak batas wilayah itu belum,” terang Yusril.

Menurutnya, tapak batas wilayah muncul setelah zaman reformasi dengan adanya pemekaran provinsi, kabupaten, dan kota.

Pemekaran inilah yang menimbulkan permasalahan wilayah. Namun, Yusril mengatakan, pemerintah selama ini bisa menyelesaikan sengketa pulau atau perbatasan.

“Maka banyaklah timbul permasalahan itu, tapi satu demi satu dapat diselesaikan ya. Saya juga beberapa kali menangani penentuan batas wilayah dan juga mengenai sengketa pulau sekitar batas daratan bisa kita selesaikan secara baik,” ucap Yusril.

Polemik kepemilikan empat pulau di Aceh yang kini beralih ke Sumatera Utara masih berlangsung. JK mengingatkan Mendagri, Tito Karnavian, soal sejarah antara Aceh dan Sumatera Utara.

Daerah perbatasan Aceh tersebut sebetulnya sudah disepakati dalam Perjanjian Helsinski pada tahun 1956 silam, dan berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956 di era Presiden Sukarno (Bung Karno) yang mengatur soal pemisahan Aceh dari wilayah Sumatera Utara.

“Intinya adalah dulu Aceh itu bagian dari Sumatera Utara kemudian ada pemberontakan di sana. Maka Aceh berdiri sendiri sebagai provinsi dengan otonomi khusus. Jadi dasarnya, orang tanya, apa dasarnya? undang-undang, dasarnya. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956,” kata JK di kediamannya di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Jumat (13/6/2025).

Baca Juga :  Sayed Jafar Peringati Maulid Nabi Bersama Majelis Muhibbin

Menurut JK, Undang-Undang tersebut juga menjadi rujukan saat pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) menandatangani Perjanjian Helsinki pada tahun 2005 silam.

“Mengenai perbatasan itu, ada di Pasal 114, mungkin Bab 1, ayat 1, titik 4, yang berbunyi Perbatasan Aceh, merujuk pada perbatasan 1 Juli tahun 1956. Jadi, pembicaraan atau kesepakatan Helsinki itu merujuk ke situ,” ujar JK.

JK menjelaskan, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956 yang diundangkan di era Bung Karno mengatur soal pemisahan Aceh dari wilayah Sumatera Utara pasca pecahnya pemberontakan DI/TII.

“Apa itu tahun 1956? Di-undang tahun 1956, ada Undang-Undang tentang Aceh dan Sumatera Utara oleh Presiden Soekarno. Yang intinya adalah, dulu Aceh itu bagian dari Sumatera Utara, banyak residen. Kemudian Presiden, karena kemudian ada pemberontakan di sana, DI/TII, maka Aceh berdiri sendiri sebagai provinsi dengan otonomi khusus. Jadi pemdirian itu dengan kabupaten-kabupaten yang ada, itu intinya,” kata JK.

JK menegaskan, secara historis empat pulau yang kini diperebutkan itu masuk dalam wilayah Aceh, meski jarak geografisnya lebih dekat dengan Sumatera Utara.

“Dalam sejarahnya, Pulau Lipan, Pulau Panjang, Pulau Mangkir Besar, Mangkir Kecil, itu secara historis, memang masuk Aceh, Aceh Singkil,” kata JK.

JK memberi contoh sebuah pulau yang lokasinya dekat Nusa Tenggara Timur (NTT), namun tetap masuk wilayah Sulawesi Selatan.

“Bahwa letaknya dekat Sumatera Utara itu biasa. Contohnya di Sulawesi Selatan, ada pulau yang dekat NTT, tapi tetap Sulawesi Selatan, walaupun dekat juga NTT. Itu biasa,” tambahnya.

Perjanjian damai antara Pemerintah RI dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang dikenal sebagai Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki ditandatangani pada 15 Agustus 2005 di Helsinki, Finlandia. Perjanjian ini bertujuan untuk mengakhiri konflik bersenjata yang telah berlangsung selama lebih dari 30 tahun di Aceh.

Baca Juga :  Kepala Lapas Batulicin Perkuat Komunikasi dengan Pihak Legislatif

Konflik di Aceh dimulai pada 4 Desember 1976, saat GAM dipimpin oleh Hasan di Tiro mendeklarasikan kemerdekaan Aceh dari Indonesia.

Pemerintah Indonesia menanggapi dengan operasi militer, yang dikenal sebagai Daerah Operasi Militer (DOM), menyebabkan pelanggaran HAM berat dan ribuan korban jiwa.

Setelah beberapa kali upaya perdamaian gagal, yang tidak mencapai kesepakatan, situasi pun semakin memburuk dengan diberlakukannya status darurat militer.

Pada 15 Agustus 2005, setelah bencana tsunami yang melanda Aceh pada Desember 2004, perundingan damai difasilitasi oleh Crisis Management Initiative (CMI) yang dipimpin oleh Martti Ahtisaari. Perundingan berlangsung di Koenigstedt, luar kota Helsinki, Finlandia.

Delegasi Pemerintah Indonesia dipimpin oleh Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaluddin, sementara GAM diwakili oleh Malik Mahmud. MoU Helsinki menandai penghentian permusuhan secara permanen dan membuka jalan bagi perdamaian.

Beberapa poin penting dalam MoU Helsinki antara lain penghentian permusuhan secara permanen, penarikan pasukan non-organik dari Aceh, pembentukan partai politik lokal, pengakuan hak Aceh untuk mengelola kekayaan alamnya, serta pembebasan tahanan politik GAM.

MoU ini menjadi dasar bagi lahirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, yang memberikan Aceh status otonomi khusus yang sangat luas dibandingkan daerah lain di Indonesia.

MoU Helsinki terdiri dari enam pokok kesepakatan utama, yakni Penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh, Hak Asasi Manusia (HAM), Amnesti dan Reintegrasi, Pengaturan Keamanan, Pembentukan Misi Monitoring, Penyelesaian Perselisihan. (E)

📢 Bagikan artikel ini:

💡 Tips: Pilih style "Minimal" untuk tampilan thumbnail terbaik di WhatsApp

🖼️ Share Dengan Thumbnail

📱 Share Simple 🔥 Share Unique ⭐ Share Premium
🎯 Pilih style yang sesuai kebutuhan Anda

Berita Terkait

Dewan Pers Bahas Kekerasan Jurnalis Perempuan di Kalsel
Berpotensi Jerat Jurnalis, Prof Hendri: Kawal Penerapan UU ITE
Pendapatan Tanah Bumbu 2026 Diperkirakan Hanya Mencapai Rp 2,3 Triliun Rupiah
Pemekaran 17 Desa di Tanah Bumbu Dinilai Layak
Karir Johan Budi Mulai Jurnalis, Jubir KPK dan Presiden, Sampai Komisaris
Sambut HPN 2026, SMSI Siapkan Rekomendasi Kebijakan Strategis ke Pemda dan Dewan Pers
Uang Pemda Nganggur, Menkeu: Kita Ambil
Temuan Rp 41 Miliar di PT Bangun Banua, Muhidin Akan Tempuh Jalur Hukum

Berita Terkait

Jumat, 31 Oktober 2025 - 15:40 WIB

Dewan Pers Bahas Kekerasan Jurnalis Perempuan di Kalsel

Rabu, 29 Oktober 2025 - 17:44 WIB

Berpotensi Jerat Jurnalis, Prof Hendri: Kawal Penerapan UU ITE

Jumat, 24 Oktober 2025 - 08:16 WIB

Pendapatan Tanah Bumbu 2026 Diperkirakan Hanya Mencapai Rp 2,3 Triliun Rupiah

Kamis, 23 Oktober 2025 - 07:48 WIB

Pemekaran 17 Desa di Tanah Bumbu Dinilai Layak

Rabu, 22 Oktober 2025 - 08:57 WIB

Karir Johan Budi Mulai Jurnalis, Jubir KPK dan Presiden, Sampai Komisaris

Berita Terbaru

Tanah Laut

Bupati Tala Bantu Korban Kebakaran di Jalan Dharma Pelaihari

Jumat, 7 Nov 2025 - 23:06 WIB

Tanah Laut

Pisah Sambut Kajari Tala, Rahmat: Proses Regenerasi

Jumat, 7 Nov 2025 - 22:42 WIB