JAKARTA, Goodnews.co.id – Wakil Menteri Ketenagakerjaan, Immanuel Ebenezer alias Noel, pernah merasakan getirnya hidup sampai harus menjadi pengemudi ojek online untuk sekadar bertahan kemudian jadi ketua relawan dan menikmati kekuasaan.
Ketika Noel akhirnya masuk atau mendapat tempat di lingkaran kekuasaan sebagai Wakil Menteri Ketenagakerjaan, kini Noel ditanggap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Apapun hasilnya nanti, kasus ini memberi pelajaran penting, bukan hanya untuk Noel, tetapi untuk seluruh aktivis yang kini berada di lingkaran kekuasaan, maupun yang bakal masuk kekuasaan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Aktivis mulai berubah saat mendapat jabatan, banyak disaksikan. Mereka lupa akar perjuangan, lupa hari-hari sederhana yang dulu mereka jalani.
Menjadi aktivis sesungguhnya adalah panggilan moral, yang seharusnya tetap hidup dan melekat, meski sudah duduk di kursi empuk kekuasaan.
Menjadi pejabat seharusnya tidak membuat seorang berlatar aktivis kehilangan orientasi. Justru pengalaman di jalanan bersama rakyat kecil, mestinya menjadi kompas moral untuk memandu diri dalam menjalankan jabatan.
Noel mungkin hanya salah satu contoh, kasusnya harus menjadi alarm keras bagi aktivis-aktivis lain, jangan sampai mereka terseret pola yang sama.
Setiap langkah dan upaya KPK harus benar-benar transparan dan akuntabel. OTT terhadap Noel harus dipastikan berjalan dalam koridor dan skema penegakan hukum yang jelas, sehingga tak dipersepsikan sebagai alat politik, sesuatu yang beralasan, apalagi bila melihat ada pejabat sekelas menteri yang sudah bolak-balik diperiksa aparat penegak hukum malah mandek kasusnya.
Artinya, apabila KPK hanya dianggap instrumen kekuasaan atau kompatriot oligarki untuk menyingkirkan lawan atau mengendalikan sekutu, kepercayaan publik akan semakin runtuh.
Noel mungkin salah langkah, khilaf karena terlena, atau barangkali ia adalah korban. Namun, apapun kebenarannya nanti, kisah ini adalah pengingat pahit bahwa politik Indonesia masih penuh jebakan. Bahwa garis antara idealisme dan pragmatisme sangat tipis. Bahwa siapapun, bahkan seorang aktivis yang pernah hidup sederhana dan berjuang keras, bisa jatuh bila kehilangan pegangan moral. (Ditulis M. Ikhsan Tualeka di kompas.com).