Oleh: M. Syarbani Haira, Ketua Tanfidziah PWNU Kalsel periode 2007–2012 dan periode 2012-2017.
Gaung ‘NU Satu Abad’ telah digelindingkan dengan baik oleh PBNU selama tahun 2022 ini. Di banyak tempat, Ketua Umum PBNU, KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya), kerapkali berorasi mengenai ‘NU Satu Abad.’ Salah satu yang sangat monumental adalah saat Rapat Pleno PBNU di sebuah hotel mewah pertengahan Juni lalu, sekaligus semacam launching NU Satu Abad, dalam bentuk ‘Kick Off Harlah 1 Abad NU.’
Rencananya, puncak harlah Satu Abad NU ini dilaksanakan pada tanggal 16 Rajab 1444 hijriyah yang akan datang, bertepatan dengan bulan Februari 2023. Pada hari Senin, tanggal 20 Juni 2022, Ketua Umum PBNU Gus Yahya dengan lantang berucap, “…malam ini pembukaan rapat pleno pengurus besar NU sekaligus luncuran rangkaian kegiatan NU. Insya Allah hari lahir NU 16 Rajab 1444 hijriyah akan jatuh bulan Februari 2023 itu akan menjadi momentum yang kita tetapkan sebagai penanda masuknya NU ke dalam era abad ke-2 atau genap usia 100 tahun.”
Gus Yahya menegaskan PBNU sedang mempersiapkan beragam rangkaian kegiatan menuju 100 tahun sebagai kebangkitan baru NU dengan tagline digdaya Nahdlatul Ulama menjemput abad ke-2, menuju kebangkitan baru.
Momen NU Satu Abad ini oleh PBNU disambut dengan banyak prioritas kegiatan. Ketua Umum PBNU, Gus Yahya, dan beberapa pimpinan PBNU lainnya, baik jajaran syuriah maupun tanfidziah, tak pernah berhenti menggelorakan semangat kegiatan menata kembali posisi NU sebagai jam’iyah terbesar di negeri ini, sekaligus melakukan empowering jama’ah agar NU mampu memelihara negeri ini dari beragam serangan dan gangguan yang bisa saja malah akan merusak tatanan negeri ini.
Dalam konteks ini PBNU telah membentuk Organizing Committee yang dipimpin oleh Yenny Wahid (puteri Gus Dur), dan Steering Committee H Erick Tohir (Menteri BUMN). NU bahkan telah melakukan berbagai kegiatan di banyak tempat di berbagai daerah. Misalnya di Nusa Tenggara Timur (NTT), Jawa Timur, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Barat, Sumatera Selatan, Lampung, Sumatera Barat, Sulawesi Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, juga di ibukota negara, DKI Jakarta, dan lain sebagainya.
Direncanakan, bulan Oktober mendatang akan ada Religion Twenty (R-20), semacam pertemuan kepala negara G-20. Dalam event R-20 ini pimpinan PBNU sudah keliling hampir ke seluruh dunia, mendatangi tokoh-tokoh agama dari banyak negara. Diharapkan Paus Fransiskus (pemimpin umat Katholik di Vatikan), juga Norodom Sihamon, bisa ikut berpartisipasi. Tentu saja kalangan umat Islam, dari berbagai aliran, termasuk pimpinan Syi’ah dan Sunni, serta-serta faksi-faksi lainnya bisa berpartisipasi dalam event NU Satu Abad ini. Kenapa mengundang mereka? Iya, semata untuk mencari terobosan, agar semua umat beragama, selain membina jemaat-nya masing-masing, juga yang terpenting munculnya kesepakatan eliminasi konflik yang mengatasnamakan agama.
Tidak hanya itu, Erick Tohir, sebagai Ketua SC Harlah NU Satu Abad, juga mencanangkan agar warga NU memiliki kesefahaman dan melek terhadap ekonomi dan demokrasi. Ini sangat genuine, karena jika warga NU yang dalam hasil survei LSI tercatat sekitar 56% dari jumlah umat Islam di negeri ini, memiliki literasi yang baik tentang ekonomi dan politik, tentu negeri ini akan melompat dibarisan atas sebagai negara maju. Ini sudah menjadi harapan, bahkan sudah dicanangkan oleh Presiden RI Joko Widodo, bahwa tahun 2045 yang akan datang, saat negeri ini akan memperingati Indonesia Merdeka Satu Abad, yang oleh banyak pihak masuk dalam jajaran 8 besar negara terkemuka di dunia, bersama Amerika Serikat, dan yang lainnya.
Nasib NU Lokal
Mencermati ide-ide besar dari PBNU periode 2022–2027 hasil muktamar Lampung akhir 2021 ini, tentu kita semua dan juga bangsa Indonesia pasti akan berbesar hati, karena jam’iyah diniyah yang dipimpin oleh para kyai sarungan ini ternyata laju pesat melompat mengikuti irama dan tuntutan zaman. PBNU era ini telah melompat jauh membawa bahtera jam’iyah dan jama’ahnya, yang parallel dengan usaha state.
Persoalannya, seberapa jauh lompatan genuine ini juga difahami serta diikuti oleh para elite NU lokal, entah PWNU, PCNU, MWC NU, Ranting, dan anak Ranting. Dalam banyak hal, respon dann apresiasi wilayah-wilayah, cabang-cabang dan seterusnya, sangat konstruktif. Kita kagum ada Ranting NU mampu berkarya, juga MWC dan cabang-cabang. Mereka mampu mendirikan lembaga-lembaga pendidikan, dan lembaga-lembaga kesehatan. Punya Rumah Sakit, klinik, koperasi, dan sebagainya. Entah itu NU di pulau Jawa, Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, dan sebagainya.
Tetapi dalam konteks yang lebih khusus, PWNU Kalimantan Selatan, untuk saat ini khususnya, kepengurusan saat ini, nampaknya sangat memprihatinkan. Duet kepemimpinan tanfidziah PWNU Kalsel, dalam hal ini Ketua Dr. HA Hasib Salim (politisi PDI Perjuangan, anggota DPRD Kalsel) dan sekretaris Berry Nahdian Furqan, juga politisi PDI Perjuangan, sepertinya tak punya program dan visi misi yang monumental buat NU yang diharapkan oleh PBNU.
Ini riil fakta. Menyedihkan memang. Ketika PBNU, dan beberapa PWNU se-Indonesia serta PCNU dan bahkan MWC NU serta Ranting, Anak Rantingnya secara dinamis berkarya, mampu berhasil mengantarkan jam’iyahnya, juga jama’ahnya, bersaing dengan kelompok-kelompok diluar NU di negeri ini, kondisi kita berbalik arah, stagnan. Istilah seorang tokoh NU banua, almarhum Haji Abidin, ‘maju tak jalan.’
Kondisi seperti ini kerapkali menjadi pertanyaan banyak pihak. Kenapa? apakah Kalsel seperti yang kerap dipelesetkan segelintir orang sebagai ‘kalah selalu,’ saya kira tidak tepat… !!! Saya optimistis, banua tercinta Kalimantan Selatan ini, termasuk urusan nahdliyyin bisa maju pesat. Asal ada niat dan kemauan. Mau capek, dan mau bekerja, paling tidak itulah yang kami lakukan saat dipercaya menjadi ketua tanfidziah PWNU Kalsel yang berduet bersama Kyai Haji Ahmad Supian (Guru Supian) sebagai Rais Syuriah PWNU Kalsel periode 2007-2017 silam. Kala itu kritik sinis kerapkali dialamatkan ke jajaran PWNU Kalsel, jam’iyah yang disebut-sebut sebagai ‘wujuduhu ka’adamihi’ (adanya, seperti tidak ada).
Kala itu ada semacam guyonan satir, ‘haram hukumnya NU punya lembaga pendidikan tinggi.’ Satir ini sesungguhnya banyak pihak yang ingin menggambarkan jika NU mustahil mampu mendirikan lembaga pendidikan tinggi, entah itu sekolah tinggi, institute atau universitas. Itu sebabnya ketika sahabat-sahabat dan rekan-rekan mendorong saya berkenan menerima usulan-usulan agar menjadi ketua tanfidziah PWNU Kalsel menjelang konferwil NU Kalsel tahun 2007, saya ingin menjawab satir ini. Sekian kali berdiskusi dengan aktivis-aktivis muda kala itu, pendek kata regenerasi NU Kalsel harus diterima. Bukan sekadar menerima kepemimpinan jam’iyahnya, juga dengan sebuah tekad, harus bisa mendirikan lembaga pendidikan tinggi. Itu sebabnya, sebagai SC dari konferwil yang dilaksanakan oleh PBNU itu, saya memasukan draft agar NU Kalsel periode 2007-2012 harus bisa mendirikan Universitas NU.
Selanjutnya, pasca pelantikan kepengurusan PWNU Kalsel 2007-2012, agenda pertama adalah melakukan lokakarya pendirian perguruan tinggi. Event ini dihadiri oleh Wakil Ketua Umum PBNU Dr. KH As’ad Said Aly (yang kala itu menjabat sebagai Wakil Kepala BIN RI) menjadi pembicara utama. Turut tampil sebagai pembicara adalah Rektor ULM Prof. Dr. Ir. HM. Ruslan, M.Si, Ketua APKASI Kalsel Gerilyansyah Basrindu, PhD, Haji Abidin seorang pengusaha lokal (Allah yarham), Syaifullah Tamliha (Anggota DPR RI), dan tentu saja Gubernur Kalsel kala itu yakni Drs. H. Rudy Ariffin.
Rekomendasi dari lokakarya adalah perlunya mendirikan lembaga pendidikan tinggi bagi PWNU Kalsel. Bagi seorang As’ad Said Aly, dengan adanya lembaga pendidikan tinggi NU besar kontribusinya bagi daerah dan kemajuan jama’ah NU. Bagi seorang Rektor ULM Prof HM Ruslan, masih banyak anak muda Kalsel yang belum tertampung di perguruan tinggi, ULM khususnya. NU harus menyiapkan itu.
Prof Hadin Muhjad yang kala itu menjadi Wakil Rektor I ULM kemudian memaparkan data-data, betapa banyak pelamar ULM yang tak tertampung. Baginya, perguruan tinggi NU bisa menampungnya. Sedangkan bagi seorang Gerilyansyah “tak ada alasan NU tak mendirikan perguruan tinggi karena sumber dayanya sudah banyak.” Sedang almarhum Haji Abidin dengan lantang siap menyiapkan lahan miliknya buat pendirian lembaga pendidikan tinggi NU ini.
Atas dasar rekomendasi dan semangat tersebut, maka sejak tahun 2011 hingga 2012 diadakan studi kelayakan pendirian Universitas NU Kalsel. Ini merupakan inisiasi sendiri, karena sebelumnya PBNU sudah melaunching pendirian 8 Universitas NU se-Indonesia di Samarinda, Kaltim. Saya kemudian melakukan kontak dengan sejumlah sahabat tokoh-tokoh NU di berbagai wilayah lain di negeri ini, misalnya dengan Dr Rachmad di Pontianak, Dr Eko Ernada (dosen Universitas Jember yang didaulat merancang Universitas NU Kaltim) di Samarinda, Prof Nasruddin Suyuthi di Kendari (Sulut), dan rekan-rekan aktivis NU se-Indonesia, khususnya Sumut, Sumbar, Sumsel, Lampung, Probolinggo Jatim, Blitar, Purwokerto, dan lain-lain.
Oleh PBNU, akhirnya wilayah-wilayah yang tak termasuk 8 titik pendirian Universitas NU diakomodir. Hingga saat presentasi di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tahun 2013, daftar rencana pendirian Universitas NU itu melebihi dari 30 buah. Bulan September 2014 akhirnya ijin operasional Universitas NU Kalsel dikeluarkan oleh Mendikbud RI, bersama 6 Universitas NU lainnya, seperti Lampung, Sumbar, Sumut, Kalbar, Sulawesi Tenggara, Blitar dan Probolinggo Jatim, Kebumen dan Purwokerto Jateng, Mataram NTB, dan lain-lain.
Artinya, jika mengurus NU itu ada visi misi, akan ada gerakan, akan ada program, juga akan ada kegiatan. Karena visi misi itulah, maka pengurus NU akhirnya bisa berkarya. Mereka dinamis, terus maju, berkarya. Tidak menelantarkan jam’iyah. Malu rasanya tidak bisa berkarya. Menelantarkan jam’iyah.
Tetapi kenyataannya ada juga warga NU itu yang cuma bisanya menduduki jabatan, entah itu sebagai Rais Syuriah, Ketua Tanfidziah, Sekretaris Tanfidziah, dan seterusnya. Mereka hanya semangat saat ada konferwil, apalagi jika muktamar. Tetapi tak ada semangat buat berkarya. Lebih ironis lagi, sudah tak bisa kerja, ada pula yang malah mengobok-obok sistem yang sudah dibangun sebelumnya. Sehingga kiprahnya bukannya semakin nyata, tetapi justru menjadi nelangsa. Langkahnya stagnan. Tak ada apa-apa.
Keadaan seperti ini harus dilawan oleh rekan-rekan NU idealis. Jangan dibiarkan. Jangan ada penelantaran. Elite dan pimpinan NU harus punya visi misi. NU yang berniat untuk mengabdi, berkarya. Semua jemaat NU harus memiliki kesadaran jika diamanahi menjadi elite dan pimpinan NU harus itu ada rasa tanggung jawab agama di dalamnya. Orang-orang menelantarkan jam’iyah harus dienyahkan. Ke depan, rekan-rekan pengurus LBM NU patut melakukan kajian, bahtsul masail, dengan tema: ‘Menelantarkan dan Membiarkan Jam’iyah Diniyah Nahdlatul Ulama.’ Apa hukumnya? Agar ke depan ada tanggung jawab serius, orang-orang yang diamanahi menjadi elite dan pimpinan NU, entah itu di Syuriah, atau di Tanfidziah, dan lainnya. Wallahu a’lam bissawab.