Rajin Nabung Cekik Rakyat Kalsel

- Editor

Jumat, 21 November 2025

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Oleh:  Syaipul Adhar, ME

Ada apa Pemerintah Daerah (Pemda) rajin menabung. Sebagai contoh Kalimantan Selatan, menurut data BPKAD Kalsel per 10 November 2025, empat SKPD besar mencatat total belanja sebesar Rp 5,82 triliun, namun realisasi baru mencapai Rp 2,53 triliun atau sekitar 43 persen.

Artinya, masih ada selisih realisasi sekitar Rp 3,28 triliun. Bahkan, Menurut DPRD kalsel terdapat SILPA 2025 (Sisa anggaran) sekitar 1, 2 triliun.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Peraturan Pemerintah (PP) 12 Tahun 2019 dan Permendagri 77/2020 sebenarnya cukup jelas bahwa penempatan dana dalam deposito adalah bagian dari manajemen kas dan bukan instrumen menghasilkan pendapatan.

Tidak ada satu pasal pun yang mendorong daerah menahan kas untuk mendapatkan bunga, juga tidak ada arahan yang meminta saldo besar di akhir tahun. Bahkan sebaliknya, untuk Dana Alokasi Khusus (DAK), pemerintah pusat menerapkan penalti apabila daerah tidak mampu menyerapnya. Artinya, dalam tata kelola nasional, pemerintah pusat menginginkan percepatan belanja produktif, bukan penumpukan saldo. Kesimpulannya sederhana: yang salah bukan aturan, yang melenceng adalah tafsir kita. Angkanya memang sah menurut aturan. Tapi sah tidak selalu berarti sehat.

Banyak kepala daerah dan sebagian pejabatnya terlanjur nyaman memakai kacamata ala korporasi. Mereka melihat saldo besar sebagai prestasi dan bunga deposito sebagai ‘pemasukan tambahan.’

Ini seakan-akan Pemda sedang berlomba menjadi investor paling gesit di pasar perbankan, termasuk rebutan saham pengendali di bank plat merah. Padahal bunga deposito itu muncul bukan karena kerja keras birokrasi, tetapi karena kerja diam. Akibatnya, dana publik tidak mengalir karena pembangunan berhenti dan menunggu, juga berakibat lelang pemerintah menjadi molor.

Apa jadinya jika tender dilakukan ketika sisa 2 bulan akhir periode anggaran maka akan ada pembangunan fisik yang dikebut, ada pengadaan jasa yang kehilangan syarat penting kualitas barang.

Lucunya lagi bila ada yang merasa bangga dengan perolehan bungan dan dianggap sebagai Pendapatan Asli Daerah (PAD). Ada pula yang menjadikannya bahan konferensi pers. Padahal, dalam ilmu keuangan publik, itu tidak masuk kategori “prestasi.” Itu masuk kotak “anomali.”

Kita lupa satu hal, yaitu uang publik punya umur manfaat. Ia hanya bernilai jika cepat berubah menjadi layanan, fasilitas, dan pembangunan. Setiap rupiah yang tidak dibelanjakan tepat waktu akan kehilangan nilai. Konsepnya jelas dalam ekonomi disebut opportunity cost.

Birokrasi memilih jalan aman daripada cepat bermasalah. Proyek ditahan dulu, pengadaan menunggu “kondisi tabungan cuan.” Padahal cuan itu fatamorgana. Model ini persis seperti yang digambarkan William Niskanen dalam teori bureaucratic behavior—birokrasi lebih takut salah daripada ingin benar.

Baca Juga :  Dorong Anak Berani Cerita, Dispersip Kotabaru Gelar Lomba Tutur

Sehingga harga yang harus dibayar adalah para kontraktor kehilangan pekerjaan. UMKM kehilangan pesanan. Layanan publik kehilangan percepatan. Semua kehilangan momentum.

Lalu yang terjadi bukan sekedar “penyerapan rendah.” tetapi juga mesin birokrasi berjalan dengan resistensi tinggi. Seperti mesin tua yang dipaksa mendaki, asapnya lebih banyak dari lajunya. Ini problem tata kelola, bukan problem angka.

Karena manajemen keuangan daerah—berbeda dari perusahaan—punya tujuan yang sama sekali lain. Bukan untuk memperoleh margin, tetapi untuk mengalirkan manfaat.

Ada yang sering salah kaprah, menganggap deposito sebagai strategi keuangan. Padahal posisinya hanya alat. Fungsinya tidak lebih dari rest area uang sebelum menjalankan tugasnya yang sesungguhnya yaitu dibelanjakan.

Pemerintah daerah yang terlalu bangga dengan bunga deposito seperti sopir yang bangga karena busnya parkir paling lama di terminal. Kalaupun masyarakat bertanya: “Mengapa pembangunan lambat?.” Jawabannya mungkin ada di ruang kas daerah. Uangnya ada, tapi tidak bergerak, disimpan, dan dijaga aman. Padahal publik membayar pajak dan negara mentransfer dana agar uang itu bergerak, bukan tidur dalam rekening berjangka.

Kalsel menjadi contoh menarik dimana daerah dengan APBD besar, kapasitas fiskal lumayan, tetapi penyerapan lambat. Setiap tahun isu yang sama muncul. Setiap tahun juga saldo kas besar kembali dipuji. Padahal dalam teori public value, keberhasilan pemerintah bukan pada saldo akhir, tetapi pada dampak akhirnya. Pada manfaat pembangunan. Pada hasil yang dirasakan orang-orang biasa.

Deposito hanya menguntungkan pemerintah dalam bentuk bunga, tetapi merugikan publik dalam bentuk waktu yang hilang kemudiam waktu yang hilang dalam pembangunan adalah kerugian paling mahal. Tidak ada bunga bank yang bisa menutupinya.

Birokrasi yang modern tidak bangga pada saldo. Tetapi bangga pada eksekusi, ketepatan waktu, keberanian membuat perencanaan yang serius dan melaksanakannya tanpa menunda.

Masyarakat butuh pemerintah yang lihai bekerja, proyek perencanaan yang baik, dan memenuhi kebutuhan dasar masyarakat.

Perlu dingat bahwa deposito bukanlah prestasi tetapi itu tanda bahwa banyak pekerjaan yang tidak selesai.

Fenomena deposito bukan hanya terjadi para pemerintahan di Kalsel. Banyak pemerintah daerah di Indonesia mengalami gejala serupa: saldo tinggi, belanja rendah. Namun setiap daerah tetap memiliki kisahnya sendiri. Saya yakin, pola ini sudah berlangsung lama. Deposito menjadi penghibur yang elegan. Angkanya rapi. Bunga mengalir, laporan keuangan terlihat “aman.”

Tetapi dalam keuangan publik, tidak semua yang terlihat aman adalah benar. Bunga deposito bukanlah PAD. Ia hanya kompensasi dari uang yang belum melakukan tugasnya.

Masalahnya, sebagian pejabat terlanjur melihat saldo tinggi sebagai tanda kedisiplinan fiskal. Padahal saldo yang terlalu besar sering kali bukan buah kecermatan melainkan buah dari jeda-jeda perencanaan, jeda pengadaan, jeda keputusan. Seluruh jeda itu berwujud dalam angka yang diam.

Baca Juga :  Kebenaran Harus Diperjuangkan

Bagi seorang manajer perusahaan, saldo besar bisa berarti peluang. Tetapi bagi pemerintah daerah, saldo besar berarti pekerjaan yang belum selesai.

Kita mungkin lupa bahwa uang publik memiliki waktu. Ia lahir untuk segera kembali kepada rakyat dalam bentuk pembangunan, layanan kesehatan yang membaik, sekolah yang naik mutu, jalan desa yang diperbaiki, air bersih yang diperluas.

Ketika uang itu diparkir terlalu lama, ia kehilangan sebagian nilainya. Bukan nilainya secara nominal—bank tidak akan mengambil apa pun—melainkan nilai yang seharusnya dinikmati masyarakat. Dalam teori keuangan publik, ada istilah value of money. Bukan value for money saja. Value of money menjelaskan bahwa nilai uang menurun bukan hanya oleh inflasi, tetapi juga oleh ketertinggalan manfaat.

Bila sebuah proyek air bersih tertunda enam bulan maka enam bulan itu adalah nilai yang hilang. Tidak ada bunga deposito yang mampu mengembalikan hilangnya manfaat itu.
Kalsel, dengan segala potensi dan kapasitas fiskalnya, membutuhkan pemerintah yang bergerak seirama dengan kebutuhan masyarakatnya.

Bukan pemerintah yang ingin terlihat hemat, tetapi pemerintah yang memahami bahwa penghematan dan penundaan adalah dua hal yang berbeda. Yang satu lahir dari kehati-hatian; yang lain lahir dari ketidakpastian dan ketidakpastian itu musuh terbesar pembangunan.

Elegan memang, melihat saldo kas tersusun rapi. Tetapi elegan juga harus diukur dari cara pemerintah mengubah anggaran menjadi perubahan nyata. Elegan ketika belanja publik tepat waktu. Elegan ketika program berjalan sesuai kalender. Elegan ketika pelayanan tidak menunggu akhir tahun untuk berlari.
Deposito bukanlah musuh. Ia hanya instrumen sementara.

Ketika pemerintah daerah ada yang memuji karena deposito maka mungkin di situlah letak renungan paling penting bagi kita di Kalsel. Apakah kita mau terus mendengar suara sunyi itu atau bertanya, mengapa pembangunan berjalan pelan sementara kas berbunyi nyaring?.

Karena pada akhirnya, ukuran keberhasilan pemerintah bukan terletak pada Seberapa besar saldo yang tersisa, tetapi pada seberapa besar perubahan yang dirasakan masyarakat.

📢 Bagikan artikel ini:

💡 Tips: Pilih style "Minimal" untuk tampilan thumbnail terbaik di WhatsApp

🖼️ Share Dengan Thumbnail

📱 Share Simple 🔥 Share Unique ⭐ Share Premium
🎯 Pilih style yang sesuai kebutuhan Anda

Berita Terkait

Lapor SPT Tahunan Semakin Mudah Melalui Website Coretax
Jumat Kelabu 23 Mei di Banjarmasin: Luka, Ingatan, dan Harapan
Kebenaran Harus Diperjuangkan
UNU Kalsel dan Panggung Sandiwara
Daya Rusak Peristiwa OTT di Kalsel
Dozerisasi Pilkada Kalsel 2024
1 Juli 2024 NIK Berlaku Sebagai NPWP
Dua Anggota DPR RI Tantang Andi Rudi Latif di Pilkada Tanah Bumbu 2024

Berita Terkait

Jumat, 21 November 2025 - 10:43 WIB

Rajin Nabung Cekik Rakyat Kalsel

Rabu, 22 Oktober 2025 - 11:01 WIB

Lapor SPT Tahunan Semakin Mudah Melalui Website Coretax

Minggu, 25 Mei 2025 - 20:41 WIB

Jumat Kelabu 23 Mei di Banjarmasin: Luka, Ingatan, dan Harapan

Rabu, 23 April 2025 - 14:03 WIB

Kebenaran Harus Diperjuangkan

Selasa, 15 April 2025 - 06:30 WIB

UNU Kalsel dan Panggung Sandiwara

Berita Terbaru

Opini

Rajin Nabung Cekik Rakyat Kalsel

Jumat, 21 Nov 2025 - 10:43 WIB

Tanah Bumbu

Tanah Bumbu Raih Terbaik 3 Akselerasi IETPD

Senin, 17 Nov 2025 - 14:34 WIB