CHINA, Goodnews.co.id – Dengan pendekatan open-source dan menghabiskan dana investasi lebih terjangkau membuat Amerika Serikat (AS) wajib waspada karena dominasinya di dunia bisa disalip.
Seperti yang terjadi di banyak industri lain, perusahaan China mulai menarik pelanggan dengan menawarkan kinerja serupa dengan harga jauh lebih murah.
Apa yang dicapai perusahaan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) asal China tidak boleh disepelekan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Studi Universitas Harvard pada bulan Juni lalu menemukan bahwa China memiliki keunggulan dalam dua aspek utama AI yaitu data dan sumber daya manusia dan faktor yang memungkinkan mereka menyusul ketertinggalan teknologi.
Sebagian kalangan industry, menilai persaingan ini membawa dunia ke arah Perang Dingin Teknologi, di mana banyak negara dipaksa memilih antara ekosistem AI Amerika atau China.
“Faktor penentu siapa yang menang adalah seberapa luas teknologi mereka diadopsi di dunia. Siapa pun yang lebih dulu mencapai adopsi luas, akan sulit tergantikan,” kata Presiden Microsoft, Brad Smith, dalam sidang Senat baru-baru ini, Selasa (9/7/2025).
Di berbagai kawasan seperti Eropa, Timur Tengah, Afrika, dan Asia, pengguna dari bank multinasional hingga universitas negeri mulai beralih ke model bahasa besar (LLM) buatan perusahaan China seperti startup DeepSeek dan raksasa e-commerce Alibaba sebagai alternatif dari model AI buatan Amerika seperti ChatGPT.
Menurut sejumlah sumber, HSBC dan Standard Chartered telah mulai menguji model DeepSeek secara internal, bahkan Saudi Aramco, perusahaan minyak terbesar di dunia dilaporkan telah memasang (install) DeepSeek di pusat data utamanya.
Menariknya, penyedia layanan cloud besar asal AS seperti Amazon Web Services, Microsoft, dan Google, turut menawarkan DeepSeek kepada pelanggan meskipun Gedung Putih melarang penggunaan aplikasi perusahaan China itu di sejumlah perangkat pemerintah karena kekhawatiran terkait keamanan data.
ChatGPT dari OpenAI tetap menjadi chatbot AI konsumen yang dominan secara global, dengan 910 juta unduhan, dibandingkan dengan 125 juta unduhan untuk DeepSeek.
AI Amerika masih dianggap sebagai standar emas industri karena keunggulan di bidang semikonduktor, riset terdepan, dan akses terhadap pendanaan.
Meski menghadapi berbagai hambatan dari AS, perusahaan AI China tetap bergerak cepat, karena kekhawatiran bahwa China akan memanfaatkan teknologi canggih untuk keperluan pengawasan atau militer, Washington telah membatasi akses perusahaan China ke chip, ilmu pengetahuan, dan pendanaan dari AS dan bahkan berencana memperketat aturan tersebut.
Sebagai tanggapan, Beijing menggelontorkan dana besar untuk membangun rantai pasokan AI yang minim ketergantungan pada Amerika.
Sebuah paper dari jurnal militer menunjukkan bahwa Tentara Pembebasan Rakyat China, seperti halnya militer AS, sedang mengeksplorasi implementasi AI untuk keunggulan strategis, meskipun skala dan tingkat kemajuannya masih sulit dipastikan.
Di AS sendiri anggota parlemen kini mengusulkan undang-undang bipartisan yang melarang lembaga federal menggunakan AI buatan China.
Ketika sistem AI dari kedua negara menjadi makin tertutup satu sama lain, pakar industri khawatir bahwa AI akan semakin bebas untuk menjerat pengguna dalam bubble misinformasi dan propaganda.
Selain itu, kegagalan kerja sama AS-China dalam urusan keselamatan dan keamanan AI berisiko menghambat upaya global menghadapi ancaman sosial dan militer akibat AI yang tak terkendali.
Ketegangan ini telah menimbulkan kerugian besar bagi produsen chip dan perangkat keras Barat, ketika pemerintahan Trump menghentikan ekspor chip AI H20 dari Nvidia yang sudah disesuaikan agar lolos kontrol ekspor analis Jefferies memperkirakan langkah itu membuat Nvidia kehilangan pendapatan hingga US$10 miliar (sekitar Rp162,5 miliar).
Dominasi model AI China secara global juga mengancam pangsa pasar dan pendapatan perusahaan AI Amerika seperti Google dan Meta. Tahun ini, OpenAI memperluas operasinya dengan membuka kantor di Eropa dan Asia.
Dalam sebuah unggahan Substack pada 25 Juni, OpenAI menyatakan bahwa startup AI asal China, Zhipu AI, tengah membantu negara-negara di Asia Tenggara, Timur Tengah, dan Afrika membangun infrastruktur AI mereka.
OpenAI menuduh Zhipu bertujuan untuk mengunci sistem dan standar China di negara berkembang sebelum pesaing dari AS atau Eropa sempat masuk, serta menyebut bahwa pimpinan Zhipu sering berinteraksi dengan pejabat Partai Komunis China.
CEO OpenAI, Sam Altman, pada Mei lalu mengatakan bahwa mereka ingin memastikan AI demokratis menang atas AI otoriter.
Zhipu sendiri tidak menanggapi permintaan komentar, berbeda dari pendekatan Barat yang mengejar lompatan besar dalam AI superinteligensi, industri AI China lebih fokus pada penerapan praktis yang cepat, faktor yang memungkinkan mereka menarik lebih banyak pengguna dalam waktu singkat.
Perusahaan seperti Tencent dan Baidu bahkan merilis model AI mereka secara terbuka (open-source), memberi kebebasan kepada pengguna global untuk memodifikasi dan mengadopsinya.
Langkah ini mendorong adopsi global dan memberi tekanan pada perusahaan seperti OpenAI dan Anthropic yang menutup akses ke model mereka dan mengenakan biaya premium.
Platform AI seperti Latenode, yang berbasis di Siprus dan membantu bisnis merancang alat berbasis AI untuk media sosial dan pemasaran, menyebut satu dari lima pengguna global kini memilih model DeepSeek. Salah satu pendirinya, Oleg Zankov, mengatakan, kualitas DeepSeek setara tapi 17 kali lebih murah.
Alibaba melaporkan bahwa lebih dari 100.000 model turunan telah dibuat berdasarkan model open-source andalannya, Qwen. Startup AI Jepang, Abeja, memilih Qwen daripada produk serupa dari Google dan Meta saat membangun model khusus untuk Kementerian Ekonomi, Perdagangan, dan Industri Jepang.
“Kabar dari Benua Afrika, manajer riset di kampus Universitas Witwatersrand, Afsel, memilih DeepSeek untuk proyek penulisan proposal hibah karena model tersebut open-source dan dapat digunakan secara offline, membantu menjaga keamanan data universitas” ujar Kepala Penelitian Elektronik, Taariq Surtee.
Beberapa tahun lalu, hubungan antara sektor AI Amerika dan Chia sangat erat. Pada tahun 2018, sekitar 30 persen dari total pendanaan US$21,9 miliar untuk sektor AI China berasal dari investor AS.
Ribuan mahasiswa China juga belajar dan bekerja di universitas serta perusahaan teknologi Amerika. Kini, investasi dari AS di perusahaan AI China nyaris berhenti, mahasiswa dan profesional asal China semakin sulit memperoleh akses ke pendidikan dan pekerjaan di Amerika.
Jika dominasi perusahaan AI AS terus menyusut, kekuatan AS dalam menetapkan standar global AI juga akan ikut melemah, kata sejumlah analis.
Hal ini membuka peluang bagi Beijing untuk memanfaatkan model AI sebagai kuda Troya guna menyebarkan narasi yang sesuai dengan kepentingan geopolitiknya.
Meski versi open-source DeepSeek yang digunakan peneliti relatif bebas dari sensor, versi konsumen dari aplikasi tersebut menyensor topik sensitif seperti isu etnis di Xinjiang dan Tibet. DeepSeek belum memberikan tanggapan atas permintaan komentar.
Ritwik Gupta, peneliti kebijakan AI dari UC Berkeley, menilai, jika mereka tetap berada dalam ekosistem global, kita masih bisa mengawasi. Tapi jika tidak, China akan berjalan sendiri, dan kita tak punya visibilitas terhadap apa yang mereka lakukan. (E)