Legasi Jokowi ke Prabowo

- Editor

Selasa, 24 Desember 2024

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

JAKARTA, Goodnews.co.id – Presiden terpilih, Prabowo Subianto, resmi dilantik sebagai Presiden Republik Indonesia periode 2024-2029 pada 20 Oktober 2024. Sepuluh tahun kepemimpinan Presiden Jokowi akan menjadi perhatian dan bahan evaluasi khalayak ramai. Selain itu, dinamika pergantian rezim akan menjadi topik hangat yang menyita perhatian berbagai kalangan.

Periode krusial ini akan memberikan semacam penilaian dan pertanyaan terkait arah dan model kepemimpinan politik rezim Prabowo kelak. Artinya, perhatian dan pembahasan antara evaluasi rezim Presiden Jokowi dan arah atau model rezim politik Presiden Prabowo kedepan akan banyak dilakukan.

Terkait penilaian rezim politik Presiden Jokowi selama sepuluh tahun terakhir sangat menarik dan patut untuk dievaluasi. Namun, perkiraan atau pembahasan mengenai rezim politik Presiden Prabowo kedepan sepertinya terlalu awal untuk dilakukan. Tetapi, kedua hal ini sangat menarik dan memiliki keterkaitan satu sama lainnya. Keterkaitan antara keduanya adalah ketika Prabowo mengusung tema keberlanjutan bagi rezimnya kelak.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Komitmen Prabowo melanjutkan pembangunan dan program Presiden Jokowi adalah faktor utama yang menjadi asal keterpilihannya sebagai Presiden selanjutnya. Maka, hal ini akan merujuk kepada legacy atau warisan yang ditinggalkan oleh Presiden Jokowi.

Legasi Jokowi: secara umum tentunya model rezim yang akan dibentuk oleh Presiden Prabowo nanti sepertinya tidak berbeda dengan Presiden Jokowi. Prabowo juga belajar dari dinamika politik yang terjadi selama rezim Jokowi. Sepuluh tahun rezim politik Presiden Jokowi dapat dikatakan sebagai A Decade of Democratic Regresion.

Penurunan kualitas demokrasi secara signifikan terjadi pada rezim Presiden Jokowi. Hal ini dapat dilihat dari berbagai sisi. Mulai dari awal masa jabatannya pada periode pertama, sampai kepada puncaknya pada akhir periode kedua. Fenomena populisme dan polarisasi politik yang melahirkan jargon Cebong vs Kampret menjadi salah satu tantangan dalam demokrasi di Indonesia.

Marcus Mietzner (2018) menyebutkan, Indonesia sejak era Presiden Jokowi disebut sebagai negara dengan demokrasi yang tidak liberal atau illiberalisme. Hal ini terjadi ketika respons Presiden Jokowi ketika itu yang dianggap melakukan kriminalisasi terhadap lawan-lawan politiknya, khususnya yang berhaluan islamis garis keras seperti Habib Rizieq. Selain itu, keterlibatan Presiden Jokowi yang melakukan intervensi terhadap beberapa partai politik seperti Golkar pada tahun 2015 juga menjadi indikator tersebut.

Baca Juga :  Andrew Susanto Jual Barang Elektronik Murah

Seminar yang dilakukan Indonesia Project Australian National University (ANU) dengan judul How Jokowi Changed Indonesia pada 13-14 September 2024 menjadi rujukan yang menarik. Pembahasan dari berbagai ahli politik, ekonomi, hukum, dan hubungan internasional mencoba melakukan evaluasi terkait sepuluh tahun rezim Jokowi. Dalam presentasi yang dipaparkan oleh Eve Warburton dan Sana Jaffrey menyimpulkan bahwa Indonesia pasca Pemilu 2024 sudah masuk ke dalam istilah The Edge of Competitive Authoritarianism.

Competitive authoritarianism dapat didefinisikan sebagai sebuah sistem yang hidup berdampingan antara institusi demokrasi yang bermakna dan pelanggaran serius yang dilakukan oleh petahana menghasilkan persaingan pemilu yang nyata namun tidak adil (Levitsky, 2020). Hal ini tidak dapat untuk disangkal. Temuan ilmiah ini dapat ditelusuri lebih jauh, khususnya pada periode kedua Presiden Jokowi.

Banyaknya produk hukum yang lebih merepresentasikan kepentingan elite, seperti UU KPK, UU Minerba, UU Cipta Kerja, dan UU IKN. Kontroversi produk hukum ini lahir ketika pembengkakan kekuasaan eksekutif (executive heavy) dan minimnya kelompok oposisi. Sehingga praktik ini mirip dengan apa yang dikatakan oleh Scheppele, (2018) sebagai Autocratic Legalism.

Konfigurasi partai politik pendukung pemerintah di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terutama pada periode kedua Presien Jokowi hanya menyisakan dua partai oposisi, yaitu Demokrat dan PKS. Namun, di pengujung jabatannya Demokrat memilih bergabung ke pihak Jokowi.

Periode kedua Presiden Jokowi banyak melakukan inovasi otoriter yang lebih mengarah kepada perpanjangan kekuasaannya. Fenomena ini terlihat dalam ambisi otoritarian Presiden Jokowi. Mulai dari mengakali perubahan konstitusi untuk kemungkinan periode ketiganya sampai kepada pemilihan penerusnya yaitu Gibran Rakabuming Raka sebagai wakil presiden terpilih (Mietzner, 2024).

Melakukan intervensi terhadap proses Pemilu 2024 dengan mencoba mengintervensi institusi penegakan hukum seperti Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan awal dari puncak dinasti Presiden Jokowi. Pemilu 2024 dinilai sebagai pemilu yang paling buruk di Indonesia Pasca Reformasi. Peninggalan atau legacy presiden Jokowi atas demokrasi Indonesia sudah bergerak kepada jurang competitive authoritarianism.

Baca Juga :  Paman Birin: Mari Bangun komunikasi dan Kritik Konstruktif

Legasi ke Prabowo: apa legasi Jokowi ke Prabowo?, tentunya Prabowo sangat memahami keadaan perpolitikan Indonesia, terutama saat rezim Jokowi berkuasa. Keinginan Prabowo untuk merangkul seluruh pihak untuk bergabung dalam koalisinya telah menjurus kepada rezim Authoritarian Multiparty Governments seperti yang dikatakan oleh Bokobza & Nyrup, (2024).

Keinginan penguasa untuk melakukan konsolidasi elite politik dengan tujuan memuluskan program dan rencana kekuasaannya. Fenomena ini ia pelajari dari rezim politik Jokowi. Pada akhirnya keberlanjutan kekuasaan antara Jokowi dan Prabowo akan memberikan efek yang sama sepertinya yang dirasakan saat ini. Penurunan kualitas demokrasi dan banyaknya intrik yang dilakukan oleh elite politik dalam melakukan inovasi otoriter. Hal ini sangat terlihat dari berbagai kebutuhan dan kepentingan Prabowo yang coba diakomodasi lebih awal pada saat masa transisi pemerintahan ini. Baik itu pembuatan produk hukum di DPR sampai kepada persiapan komposisi kabinet nanti.

Tentunya Prabowo sangat memahami keadaan perpolitikan Indonesia, terutama saat rezim Jokowi berkuasa. Keinginan Prabowo untuk merangkul seluruh pihak untuk bergabung dalam koalisinya telah menjurus kepada rezim Authoritarian Multiparty Governments seperti yang dikatakan oleh Bokobza & Nyrup.

Keinginan penguasa untuk melakukan konsolidasi elite politik dengan tujuan memuluskan program dan rencana kekuasaannya. Fenomena ini Prabowo pelajari dari rezim politik Jokowi. Pada akhirnya keberlanjutan kekuasaan antara Jokowi dan Prabowo akan memberikan efek yang sama seperti yang dirasakan saat ini.

Penurunan kualitas demokrasi dan banyaknya intrik yang dilakukan oleh elite politik dalam melakukan inovasi otoriter. Hal ini sangat terlihat dari berbagai kebutuhan dan kepentingan Prabowo yang coba diakomodasi lebih awal pada saat masa transisi pemerintahan ini. Baik itu pembuatan produk hukum di DPR sampai kepada persiapan komposisi kabinet nanti.

(Artikel ini ditulis Gennta Rahmad Putra di Detik.com)

Berita Terkait

4 Kekuatan Politik di Indonesia
Kencan Generesi Z Bidik Pasangan Berpengaruh
Era Disrupsi dan Solusinya
Dagu Berlipat Bikin Wajah Gemuk
Tanda-tanda Kerusakan Sepeda Motor dari Penilaian Suaranya
Bunyi Krek-krek Mobil Bikin Tak Nyaman
Negara-negara Penghasil Daging Ayam Terbesar Dunia
Agus Pilih Ternak Ayam Kampung Karna Tak Butuh Banyak Perawatan
Berita ini 5 kali dibaca

Berita Terkait

Kamis, 26 Desember 2024 - 11:17 WIB

4 Kekuatan Politik di Indonesia

Kamis, 26 Desember 2024 - 11:05 WIB

Kencan Generesi Z Bidik Pasangan Berpengaruh

Selasa, 24 Desember 2024 - 22:06 WIB

Legasi Jokowi ke Prabowo

Rabu, 30 Oktober 2024 - 15:38 WIB

Era Disrupsi dan Solusinya

Selasa, 1 Oktober 2024 - 16:59 WIB

Dagu Berlipat Bikin Wajah Gemuk

Berita Terbaru

Khazanah

4 Kekuatan Politik di Indonesia

Kamis, 26 Des 2024 - 11:17 WIB

Khazanah

Kencan Generesi Z Bidik Pasangan Berpengaruh

Kamis, 26 Des 2024 - 11:05 WIB